WATERFLO

infopaytren.com

Halaman

Kamis, 14 Februari 2013

ASPEK POLITIK DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM

Oleh
Saepuddin
Lombok Timur NTB

A.    Latar Belakang
Mengkaji sebuah sejarah peradaban manusia tidak ubahnya memanjat sebuah pohon. Karena term sejarah itu sendiri berasal dari bahasa Arab “syajaratun” yang berarti pohon. Karena karakteristik sejarah manusia berkembang dari masa ke masa ibarat sebuah pohon dengan seluruh ranting-ranting dan cabang-cabangnya. Bermula dari sebutir biji lalu tumbuh dan berkembang, kemudian setelah itu layu dan akhirnya ia tumbang.  Begitulah analogi sejarah ummat manusia yang selalu tumbuh, berkembang dan kemudian akhirnya runtuh ditelan masa.
Sejarah ummat Islam juga tidak jauh berbeda dengan sejarah ummat-ummat terdahulu yang tumbuh, berkembang dan akhirnya runtuh. Namun dalam konteksnya dengan pengkajian sejarah peradaban Islam khususnya, bukanlah semata-mata bertujuan untuk mengenang masa-masa keemasan, dan bukan pula menangisi apalagi menyesali saat-saat tragis yang berakhir dengan kehancurannya, Namun yang terpenting dalam pengkajian sejarah ini adalah bagaimana kita bisa merefleksikannya dalam kehidupan kontemporer kemudian menarik berbagai ibrah dan pelajaran dari berbagai peristiwa sejarah itu.
Ada sebuah ungkapan menarik yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dari H.A.R. Gibb dalam kata pengantarnya. Ungkapan itu berbunyi : “Islam is a complete civilization” (Islam adalah satu peradaban paripurna).  Ungkapan yang sangat bagus ini sepintas bernada kebanggaan, namun bila ditinjau lebih dalam, ada sebuah fenomena di tengah masyarakat muslim yang mengadopsi langsung ungkapan tersebut, bahkan sering disampaikan pada berbagai forum dan mimbar-mimbar masjid. Fenomena tersebut menurut Abdurrahman Mas’ud tidak lebih dari upaya meninabobokkan ummat Islam agar tidak lagi kritis terhadap Barat. Artinya adalah, ketika orang-orang Barat mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengangkat nama baik Islam, kaum muslimin secara membabi buta mengadopsinya. Namun bila sebaliknya yang terjadi, saat orang-orang orientalis menghujat Islam, mereka sangat marah. Suatu sikap yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai intelektual Islam.
Peradaban Islam sudah berjalan dalam rentang waktu yang sangat panjang, hampir 1500 tahun. Dalam rentang waktu yang begitu panjang tersebut, berbagai peristiwa sejarah dalam berbagai aspeknya berlangsung dan berlalu dengan aneka ragam pasang surutnya. Mulai dari zaman Nabi besar Muhammad saw. lalu zaman sahabat atau lazim disebut era khulafaurrasyidin, kemudian muncul Dinasti Umaiyah dan dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah, sampai zaman tiga kerajaan besar dalam sejarah Islam, yaitu Kerajaan Safawi di Iran, Kerajaan Usmani di Turki serta Dinasti Mughol di India.
Dalam mengkaji sejarah peradaban Islam, biasanya para ahli membagi perjalanan sejarah tersebut kedalam tiga periode,  yaitu :
a.    Periode Klasik (650-1250 M)
b.    Peride Pertengahan (1250-1800 M)
c.    Periode Modern  (1800-sekarang)
Pada gambaran global dari periode tersebut, penulis mengambil periode klasik dalam penyusunan makalah ini. Karena pada periode inilah sebenarnya Islam mencapai puncak kejayaannya, baik Dinasti Umaiyah yang berkuasa di Spanyol, maupun Dinasti Abbasiyah yang tengah berkuasa di Bagdad.
Dengan memfokuskan pembahasan pada Dinasti Abbasiyah, penulis mencoba untuk menggali dan sekaligus memberikan refleksi terhadap perjalanan sejarah Dinasti ini. Mulai dari berdirinya, masa-masa keemasannya, hingga berakhir dengan era kehancurannya. Lantas bagaimana sebenarnya awal dari sejarah berdirinya Dinasti  ini ? Adakah ini merupakan suksesi kepemimpinan dalam tubuh Islam ? Lalu kenapa Dinansti yang berkuasa sebelumnya diangap sebagai rival politik yang harus mereka singkirkan, sampai mereka dikejar-kejar sehingga anak keturunan Dinasti tersebut melarikan diri sampai ke Spanyol dan membentuk wilayah kekuasaan sendiri disana.
B.Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Daulah Abbasiyah.
    Berdirinya Dinasti ini sebenarnya tidaklah terlepas dari tiga tempat kegiatan, yaitu  Humaimah, Kufah, dan Khurasan.  Humaimah merupaka suatu tempat yang nyaman dan tenteram, dimana di kota inilah tempat bermukimnya  keluarga Bani Hasyim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas.
Kufah merupakan wilayah yang penduduknya menganut  aliran Syi’ah, pendukung Ali bin Abi thalib, yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Sementara Khurasan  memiliki warga yang pemberani , kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh  nafsu dan tidak mudah bingung  terhadap kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapat dukungan.
Di kota Humaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang pemimpinnya bernama Al-Imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi berdirinya Dinasti Abbasiyah. Ia menyiapkan strategi perjuangan menegakkan kekuasaan atas nama keluarga Rasulullah saw. Para penerang dakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang dibawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang dan puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh Khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad.  Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran, sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh, dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi oelh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah  yang telah ditaklukkan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar Khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri, dimana pada akhirnya dapat dipukul di dataran rendah sungai Zab. Pengejaran dilanjutkan ke Mausul, Harran dan menyebrangi sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Khalifah itu melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Elfayyum tahun 132 H/ 750 M. dibawah pimpinan Salih bin Ali. Dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan Dinasti Umayyah, dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin khalifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Ahaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
Disini ada suatu  yang menarik untuk dicermati. Peristiwa tersebut adalah dua hal yang menyebabkan Dinasti Umayyah tidak bisa mempertahankan kekuasaannya sekaligus sebagai latar belakang berdirinya Daulah Abbasiyah. Yang pertama adalah sikap dzolim penguasa terakhir Bani Umayyah, Marwan bin Muhammad yang ditunjukkan kepada penduduk Kufah, sementara warga Kufah tersebut sangat loyal kepada Ali bin Abi Thalib, karena beraliran Syiah. Yang kedua adalah gerakan propaganda yang bergerak secara rahasia dibawah pimpinan Keluarga Abbas bin Abdul Mutthalib yaitu Imam Ibrahim, namun yang disebut terakhir ini berhasil ditangkap oleh kaki tangan Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah dan berakhir dengan eksekusi atas dirinya.
Namun sebelum  dieksekusi, ia memberikan wasiat kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan posisinya sebagai pimpinan gerakan bawah tanah keluarga Abbas. Pada akhirnya gerakan propaganda ini berakhir dengan sukses, ketika Penguasa Umayyah di Kufah Yazid bin Umar bin Hubairah berhasil ditaklukkan. Inilah titik awal dari berdirinya Daulah Bani Abbasiyah.
Bila dianalisa secara politis, Keluarga Abbas sebenarnya telah lama memendam niat ingin menumbangkan kekuasaan Bani Umayyah, hal ini terbukti dengan penyusunan strategi propaganda yang jitu, meskipun salah seorang pemimpinnya tewas dieksekusi sebelum secara resmi Daulat Abbasiyah ini  berdiri. Dan logisnya lagi, praktik-praktik propaganda seperti ini sepertinya sudah menjadi warisan sejarah bagi setiap kaum yang tertindas, dimanapun dan kapanpun kedzoliman itu berlangsung.
Namun yang lebih tragis lagi dari trik-trik lawan politik suatu Dinasti adalah menghabiskan setiap lawan politiknya, bila perlu sampai seluruh keturunannya. Inilah yang telah terjadi pada kedua Dinasti Islam tersebut, Umayyah dan Abbasiyah. Seakan-akan nilai Ukhuwah Islamiyah sudah tidak ada lagi di kalangan para pecinta kekuasaan. Karena yang dipertaruhkan adalah nyawa, bila tidak membunuh akan dibunuh.
Kembali kepada sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah, bahwasanya ia berdiri secara resmi pada tahun 132 H./750 M. dan didirikan oleh Abul-Abbas Ash-shafah sekaligus sebagai khalifah pertamanya. Profil beliau menurut penjelasan Hamka adalah seorang yang mashur karena kedermawanannya, kuat ingatannya, keras hati, tapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah, sehingga dengan tidak mengenal belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu. 
Dinasti ini berkuasa selama lima abad dari tahun 132-656 H. (750-1258 M.). Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah saw dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasul dan anak-anaknya.

B.    Masa Awal Berdirinya Daulah Abbasiyah
Di masa awal kekuasaannya, Bani Abbasiyah mewarisi imperium yang sangat luas dari Bani Umayyah. Mereka memungkinkan dapat mencapai hasil lebih banyak karena landasannya telah dipersiapkan oleh Bani Umayyah yang besar, dan Bani Abbasiyah yang pertama memanfaatkannya. Penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini di dalam kepemimpinan masyarakat Islam lebih dari hanya pergantian Dinasti, ia merupakan revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang diakui oleh semua pihak  dan dapat disejajarkan dengan revolusi Prancis, revolusi Rusia di dalam sejarah peradaban Barat.
Ash-Shaffah mendapat dukungan penuh dari semua keluarga Abbas dan menyatakan kesetiaan mereka pada pemerintahannya. Kemudian Ash-Shaffah pindah ke Ambar, sebelah barat sungai Eufrat dekat Bagdad. Ia menggunakan sebagian besar dari masa pemerintahannya untuk memerangi para pemimpin Arab yang kedapatan membantu Bani Umayyah, lalu mengusir mereka, kecuali Abdurrahman, yang tidak lama kemudian berhasil mendirikan kekuasaannya di Spanyol. Ash-Shaffah juga memutuskan untuk menghabiskan sisa-sisa pembantu Bani Umayyah dalam sebuah eksekusi politik.
Khalifah pertama Bani Abbasiyah ini hanya memerintah selama empat tahun Sembilan bulan. Ia wafat pada tahun 136 H. di Abar, suatu kota yang telah dijadikannya sebagai tempat kedudukannya dalam mengendalikan pemerintahan. Ia berumur tidak lebih dari 33 tahun. Bahkan ada yang mengatakan umur Ash-Shaffah ketika meninggal adalah 29 tahun.
Telah dijadikannya sebagai tempat kedudukan pemerintahan . ia berumur tidak lebih dari 33 tahun. Bahkan ada yang mengatakan umur Ash-Saffah ketika meninggal dunia adalah 29 tahun.
Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budayan pola. Berdasarakan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah dalam empat periode berikut.
1.    Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasiyah tahun 132 H (750 M) sampai meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H (847 M).
2.    Masa Abbasiyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H. (847 M.) sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Bagdad pada tahun 447 H. (1055).
3.    Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334 H. (946 M.) sampai masuknya kaum Saljuk ke Bagdad tahun 447 H. (1055 M.)
4.    Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Bagdad tahun 447 H. (1055 M.) sampai jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H. (1258 M.)


C.    Gerakan Politik Para Khalifah  Daulah Abbasiyah
Untuk menggambarkan gerakan politik dari Bani Abbasiyah ini, perlu kiranya kita kembali  kepada awal mula berdirinya Daulah ini. Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sedang berkuasa. Khalifah Umayyah ini terkenal dengan keliberannya dengan memberikan toleransi yang besar kepada keluarga Abbas yang mengembangkan aliran Syi’ah. Gerakan ini didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim Al-Imam, tapi semuanya mengalami kegagalan karena kurangnya strategi propokasi dalam penggulingan khalifah Umayyah.Sementara Ibrahim Al-Imam, sebagaimana disebutkan di muka, meninggal dalam penjara karena tertangkap ketika menyebarkan maker yang dalam bahasa politik modern dinamakan mossi tidak percaya, atau upaya cup de tat (penggulingan kekuasaan). Barulah usaha penggulingan itu berhasil ketika berada di tangan Abul Abbas Ash-Shafah dengan strategi politiknya yang jitu tapi tragis, yaitu dengan membantai hampir  semua keluarga Umayyah, termasuk didalamnya adalah Khalifah Marwan II yang sedang berkuasa.
Pada awalnya kekhalifahan Abbasiyah menjadikan Kuffah sebagai pusat pemerintahan di bawah pemerintahan Abul Abbas Ash-Shaffah. Namun ketika diganti oleh Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pusat pemerintahannya dipindahkan ke Bagdad.
Antara Bani Umayyah dengan Abbasiyah dalam hal kehidupannya memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya dapat dilihat dari pola kehidupan para pembesar kerajaan, baik Bani Umayyah maupun Abbasiyah, keduanya gemar memelihara budak belian dan istri simpanan (harem). Kehidupannya lebih cendrung kepada pemuasan nafsu duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak juga bisa disangkal bahwa beberapa orang khalifah dari kedua dinasti ini memiliki selera seni yang tinggi serta sangat taat dalam beragama, seperti Umar bin Abdul Aziz dari dinasti Umayyah dan Harun Ar-Rasyid dari Abbasiyah.
Ada tiga pola dalam system pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah yang terbagi kedalam lima  periode , sebagaimana diungkapkan oleh Abu Su’ud.  Ketiga pola  dalam lima   periode tersebut adalah :
a.    Periode Pertama (750-847 M)
Periode ini diawali dengan menerapkan pola tangan besi dalam menjalankan pemerintahannya. Baik Abul Abbas Ash-Shafah maupun penggantinya Abu Ja’far al-Mansur, keduanya memerintah dengan tangan besi dan kejam, yang memang diakui sebagai modal untuk mencapai kejayaannya.
Rupanya kedua khalifah pertama Bani Abbasiyah ini ingin menciptakan stabilitas dalam negeri terlebih dahulu baru kemudian mengembangkan segi-segi yang lainnya. Pemindahan ibukota dari Kuffah menuju Bagdad dilakukan oleh Khalifah kedua ini untuk menunjang langka-langkah menuju kemajuan dan meraih masa kejayaan.  Kota yang indah ini dibangun ditepian sungai Tigris dan Efrat. Sementara perbaikan di bidang administrasi pemerintahan disusun dengan baik. Pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintahan diperketat.Petugas pos-pos komunikasi dan surat menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal itu dilakukan untuk mengantisifasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan.
Periode awal dari pemerintahan Abbasiyah ini masih menekankan pada kegiatan dan kebijakan perluasan daerah. Abbasiyah memiliki benteng pertahanan di Asia, seperti kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan sicilia pada tahun 775-785.
Kalau dasar-dasar pemerintahan dari Daulah Abbasiyah ini telak diletakkan dan dibangun oleh Abul  Abbas Ash-Shaffah dan Abu Ja’far Al-Mansur, maka puncak keemasan Dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah Al-Wasiq ( 842-847 ).
Pada periode ini terjadi juga pergeseran kebijakan  yang dilakukan oleh Harun Ar-Rasyid (786-809 M.) dan putranya al-makmun (813-833 M). Kedua penguasa dinasti Abbasiyah ini lebih menekankan pada pengembangan dan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah seperti yang pernah dilakukan oleh para penguasa daulah Umaiyah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda kebijakan antara Dinasti Umayah dengan Dinasti Abbasiyah yang lebih menekankan pada perluasan wilayah. Dampak dari kebijakan yang diambil ini, propinsi-propinsi terpencil di pingiran mulai tidak bisa dikontrol sehingga terlepas dari gemgaman mereka.
b.    Periode Kedua ( 232-334 H/847-945 M.)
         Di era pemerintahan Al-Mu’tasim  (833-842), ia menerapkan kebijakan dengan memilih unsur Turki dalam ketentaraan. Hal ini diterapkan khalifah karena adanya persaingan antara golongan Arab dengan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya.  Di masa khalifah ini, gejolak persaingan itu dapat diatasi dengan baik, akan tetapi khalifah Al-Mutawakkil (847-861) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat khalifah sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian, Bani Abbasiyah tidak lagi memiliki kekuasaan, meskipun resminya merekalah yang menjadi penguasa. Usaha untuk melepaskan diri dari dominasi tentara Turki itu selalu gagal. Pada tahun 892 , Bagdad kembali menjadi ibu kota, kehidupan intelektual terus berkembang.
    Pada periode ini sering terjadi pemberontakan, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak selatan dan pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun kedua pemberontakan ini sejatinya bukanlah sebagai penyebab kelemahan Daulah Abbasiyah, terutama dalam menyatukan dan mewujudkan kesatuan politik,namun factor yang menjadi penyebabnya adalah pertama luasnya wilayah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka sangat tinggi.  Ketiga kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
c.    Periode Ketiga (334-447 H./945-1055 M)
Periode ketiga ini menggambarkan posisi Daulah Abbasiyah yang berada dibawah kekuasaan Bani Buwaihi sebagai ciri utamanya. Keadaan Khalifah lebih buruk dari masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan khalifah tidak lebih sebagai  pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara,  Ali menguasai bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Bagdad. Dengan demikian Bagdad tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.
Meskipun demikian adanya, Daulah Abbasiyah ini masih mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa ini muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-farabi (870-950 M), Ibnu Sina ( 980-1037 M) dan Al-Biruni (973-1048 M) dan yang lainnya seperti Ibnu Maskawaih.
d.    Periode Keempat (447-590 H./ 1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini atas  “undangan” khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Bagdad. Keadaan Khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa dikuasai oleh orang-orang Syi’ah.
Seperti periode sebelumnya, ilmu pengetahuan masih dapat berkembang dengan pesatnya di sini. Nizam al- Muluk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikiyah, mendirikan madrasah Nizamiyah (1067) dan Madrasah Hanafiyah di Bagdad. Cabang-cabang Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Madrasah Nizamiyah ini telah banyak mencetak cendikiawan di berbagai disiplin ilmu, misalnya bidang tafsir dan usuluddin (teologi).
e.    Periode Kelima (590-656 H./ 1199-1258 M)
Pada era ke lima ini, perubahan besar-besaran telah terjadi dalam kekhalifahan Bani Abbasiyah. Pada periode ini khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./ 1258 M.
Ada dua factor yang menyebabkan lemah dan kemudian hancurnya Daulah Abbasiyah. Kedua factor tersebut adalah intern dan eksteren. Yang termasuk factor intern adalah adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia danTurki, dua terjadinya perselisihan pendapat diantara kelompok pemikiran agama yang ada yang berkembang menjadi pertumpahan darah, dan ketiga munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan dan keempat adalah terjadinya kemerosotan ekonomi sebagai akibat dari bentrokan politik.
Adapun factor ekstern adalah pertama karena berlangsungnya perang salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan kedua adalah adanya sebuah pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan  yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan dan pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Bagdad.

D.    Para Penguasa Daulah Abbasiyah
Berikut ini penulis memaparkan semua khalifah yang  berkuasa pada Daulah Abbasiyah, mulai dari Bani Abbas sampai dengan kekuasaan Bani Saljuk. Raja-raja yang pernah berkuasa pada Dinasti ini dapat diurutkan satu persatu sesuai dengan  kronologi sejarah yang berlangsung.
Ada tiga Dinasti yang pernah memerintah pada Daulah Abbasiyah ini , yaitu :
a.    Penguasa dari Bani Abbas
1.    Khalifah Abul Abbas Ash-Shaffah (750-754 M)
2.    Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M)
3.    Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4.    Khalifah Al-Hadi 775-776M)
5.    Khalifah Harun Ar-Rasyid (776-869 M)
6.    Khalifah Al-Amin (809-813 m)
7.    Khalifah Al-Makmun (813-633 M)
8.    Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9.    Khalifah al-Wasiq (842-847 M)
10.    Khalifah Al-Mutawakil (847-861 M)
11.    Khalifah Al-Muntasir (862-862 M)
12.    Khalifah Al- Mustain (862-866 M)
13.    Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14.    Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15.    Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16.    Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17.    Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18.    Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
b.    Penguasa dari Bani Buwaihi
19.    Khalifah Al-Kahir ( 932-934 M)
20.    Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21.    Khalifah Al-Mustaqi (943-944 M)
22.    Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23.    Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24.    Khalifah At-Tai974-991 M)
25.    Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26.    Khalifah Al-Kasim (1031-1075)
c.    Penguasa dari Bani Sljuk
27.    Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28.    Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29.    Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30.    Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31.    Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32.    Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33.    Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34.    Khalifah An-Nasir (1180-1224  M)
35.    Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36.    Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37.    Khalifah Al-Mustaksim (1242 – 1258 M)

E.    Analisa dan Refleksi Terhadap Kemajuan dan Kehancuran Daulah Abbasiyah
Membangun sebuah persepsi tentang rentetan peristiwa sejarah sebenarnya tidaklah semudah membalik telapak  tangan, hal ini karena memerlukan penalaran dan juga studi literature yang tidak sedikit. Karena analisa seorang sejarawan yang satu  seringkali berbeda dengan persepsi sejarawan yang lainnya. Semuanya itu mereka bangun berdasarkan sudut pandang atau paradigma yang berbeda, sehingga hasil penelitian merekapun pada gilirannya akan berbeda pula.
Begitu juga ketika membangun  persepsi tentang sebab-sebab kemajuan dan keruntuhan suatu dinasti. Rata-rata  para sejarawan tidak memberikan klasifikasi terhadap sebab-sebab maju dan mundurnya suatu kekuasaan. Mereka biasanya menjeneralisir sebab-sebab tersebut.
Refleksi dari factor-faktor penentu maju dan mundurnya manusia, masyarakat, dan bangsa-bangsa (tidak terkecuali Dinasti Abbasiyah) sebenarnya sengat erat hubungannya dengan cara pandang Qur’ani.     
    Dalam konsep Al-Qur’an  ( begitu pandangan M.Umer Chapra), factor moral dan materi  sebagai penentu atas maju dan mundurnya sebuah Bangsa. Al-Qur’an menyeru seluruh Bangsa untuk ikut berperan tidak saja dalam mempelajari sejarah, tapi menjadi bagian dari pelaku sejarah. Misi sejarah manusia, baik sebagai individu maupun sebagai ummat yang beriman adalah untuk berjuang hidup secara terus-menerus dan menegakkan kehendak Tuhan dalam ruang dan waktu sejarah. Kedudukan Rasulullah Muhammad saw. sebagai Nabi terakhir dengan jelas menegaskan kekhususan peran beliau dan kaum muslimin dalam sejarah.
    Kembali kepada masalah Dinasti Abbasiyah, sebanarnya yang menjadi penyebab dari maju dan mundurnya dinasti ini adalah terletak pada bagaimana pihak penguasa saat itu mengaktualisasikan world view / sudut pandang Al-Qur’an dalam membanguna sebuah peradaban. Bila pihak yang berkuasa selalu konsisten dalam mengamalkan konsep qur’ani dalam kekuasaannya, niscaya ia akan tetap jaya dan langgeng. Namun ketika mereka telah lari dari prinsip-prinsip Qur’ani, dampaknya adalah kehancuran yang akan menemui dinasti atau kekuasaan manapun, tidak terkecuali dinasti yang disebutkan ini.
    Begitu juga halnya yang terjadi pada Daulah Abbasiyah. Ketika para khalifahnya sangat taat menjalankan ibadah agama, kemudian mewujudkan nilai-nilai ibadah tersebut dalam sikap dan system pemerintahannya, niscaya daulah atau kekuasaan Dinasti ini akan tetap langgeng. Meskipun memang diakui kekuasaan dinasti ini telah berlangsung hampir lima sampai enam  abad lamanya, suatu rentang waktu yang cukup panjang dan tidak pernah dialami oleh Dinasti manapun di dunia ini. Hanya saja kemunduran dan bahkan berujung pada hancurnya Daulah Abbasiyah ini yang dilaui dengan jalan sangat tragis di tangan pasukan  Bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan. Mereka dibantai dengan sadis, dan sangat disayangkan sekali, bahwa  perpustakaan Bagdad yang menjadi pusat kegiatan intelektual kaum muslimin, ikut pula dibakar, termasuk didalamnya adalah Madrasah Nizamiyah yang sangat legendaries tersebut.
    Ketika para Khalifah dari Bani Abbasiyah telah larut dengan kemewahan duniawi, dan melampiaskan nafsu mereka dengan memelihara banyak budak belian serta istri simpanan, hal mana juga dilakukan oleh dinasti sebelumnya, maka tidak beberapa setelah itu, Dinasti dari daulah Abbasiyah ini langsung mengalami kemunduran dan berujung pada kehancuran.
    Ternyata dalam hal ini, lagi-lagi paradigma Qur’ani membuktikan kebenaranya. Menurut konsep Ilahi dalam Qur’an, kemewahan duniawi telah membuat terlena umat manusia, sampai mereka masuk ke liang lahat. Gambaran Al-Qur’an ini telah terbukti dengan hancurnya Dinasti Abbasiyah ini ketika mereka telah terlena dengan kemewahan duniawi.
     Menurut pandangan Abu Su’ud, ada dua factor utama yang menyebabkan hancurnya Daulah Abbasiyah ini, yang mana ia kelompokkan menjadi dua bagian, yaitu factor internal dan factor eksternal.
 Pada factor internal, Su’ud mengatakan bahwa hancurnya Dinasti yang disebut belakangan ini dikarenakan :
1.    Adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Bangsa Arab, Persia dan Turki.
2.    Terjadinya perselisihan pendapat antara kelompok dan atau golongan pemikiran keagamaan yang berkembang menjadi pertumpahan darah antara sesame mereka.
3.    Munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat dari perpecahan sosial yang berkepanjangan. Dan ,,,
4.    Terjadinya krisis ekonomi sebagai dampak dari bentrokan dalam kepentingan politik.
Sementara dalam factor eksternal, disebutkan oleh penulis buku Islamologi ini  adalah sebagai berikut :
1.    Terjadinya perang salib yang berkepanjangan dan berlangsung dalam beberapa gelombang.
2.    Serbuan pasukan Mongol ke Bagdad dibawah pimpinan Hulagu  Khan  dan telah menghancur luluhkan kota Bagdad.


0 komentar:

Posting Komentar